Senin, 11 Juni 2012

Chapter 1. Bab 1 Sang Raja


Anak muda bertubuh tegap itu memacu kudanya. Kedua kakinya mengepit perut kuda tunggangannya. Tubuhnya tegak dengan dua tangan terpentang merentang busur. Sebuah anak panah terpasang di ujungnya. Seekor rusa jantan besar berlari kencang melompati sebatang pohon tumbang. Anak muda itu melepaskan anak panahnya.
            “ Blass…”
            Suara mendesing nyaring terdengar saat anak panah itu meluncur deras.
            Beberapa saat kemudian tubuh rusa itu ambruk ke tanah.
            Dari belakang terdengar ringkik kuda, tiga orang mendekat. Dua orang dengan sigap turun dari kuda dan menaikan tubuh rusa itu ke atas salah satu kuda mereka.
            “Hasil yang tidak terlalu jelek bukan?” ucap lelaki yang tadi membidik.
            “ Iya paduka,” jawab orang yang ada di sebelahnya dengan sikap hormat dari atas kuda tunggangannya
            “ Kita pulang, nanti malam kita bisa makan besar. Tiga ekor rusa ini rasanya cukup untuk seluruh penghuni istana.” Ucap anak muda itu sambil melirik hasil buruannya hari ini. Anak muda itu menarik tali kekang kudanya, berbalik arah dan menggebrak kudanya. Tiga orang yang menyertainya melakukan hal yang sama, mengikuti dari belakang.
            Tak memakan waktu perjalanan yang lama mereka berempat telah memasuki gerbang istana. Seorang prajurit dengan sigap memegang tali kekang sang raja. Dengan sikap hormat ia berkata:
            “ Maaf paduka, panglima kerajaan menunggu paduka di dalam.”
            “ Ada apa?” Sabda Dewa sang raja melompat dari punggung tunggangannya.
            “ Sepertinya hal penting paduka. “
 Prajurit itu menghormat dan menuntun kuda hitam itu ke istal.
            “ Ada apa panglima Balung?” ucap sang raja saat ia telah duduk di singgasananya. Seorang pelayan meletakkan sejumlah minuman dan buah-buahan di meja kecil di sampingnya. Sang raja mengambil sebutir anggur dan memasukkan ke mulutnya.
            “ Ini tentang keamanan kerajaan kita paduka. Penjaga perbatasan kerajaan kita dengan Gurun Pasir Berdesir melihat ada sesuatu yang janggal di sana. Sepertinya Kerajaan Cadarian sedang membangun kekuatan untuk menyerang kita.”
            “ Kerajaan Cadarian? Kita tidak boleh menganggap ringan masalah ini. Nanti malam kita adakan pembicaraan, undang semua sesepuh serta para penasihat perang.”
            “ Baik paduka. Akan segera hamba laksanakan. Hamba pamit paduka…” panglima Balung merundukkan tubuh dan berbalik keluar dari balairung.
            “ Paman… paman…” suara anak kecil bernada riang tiba-tiba muncul dari ruangan lain. Panglima Balung tersenyum dan memberi hormat pada dua wanita yang mengikuti di belakang anak kecil itu.
            “ Panglima Balung..” wanita yang lebih tua menyapa.
            “ Iya ibu suri, urusan hamba dengan paduka telah selesai.”
            “ Masalah penting sepertinya. Tidak seperti biasanya kau tidak meluangkan waktu untuk bercengkrama dulu dengan kami.”
            “ Maaf ibu suri banyak hal yang mesti hamba tangani. Hamba mohon diri. “
            “ Baiklah kalau begitu. Titip salam buat istrimu juga buat anakmu. Sudah lama aku tidak melihat mereka terutama Taksaka. Ia pasti sudah besar sekarang.”
            “ Suatu kehormatan buat keluarga kami. Tentu saja salam dari ibu suri akan hamba sampaikan . Hamba mohon diri.”
            “ Paman...paman...” ucapan anak kecil itu memalingkan wajah ibu suri dari tatapannya ke arah kepergian panglima Balung.
            “ Oh keponakanku yang lucu.”
Sabda Dewa turun dari tahtanya kedua tangannya terbuka ke arah seorang bocah kecil. Sesaat kemudian tubuh bocah itu sudah terayun-ayun di udara. Tawa gembira bercampur ngeri keluar dari mulut bocah lima tahunan itu. Dua perempuan itu mendekat, keduanya tersenyum kecil.
            “ Lintar, sudah dulu main-mainnya, kasihan pamanmu beliau kan baru pulang dari berburu. Beliau mungkin masih kecapaian.” Ucap wanita setengah baya.
            “ Tidak apa-apa kak. Kehadiran Lintar justru membuat lelahku hilang.” Sabda Dewa menurunkan tubuh keponakannya. Yang langsung berlari ke arah ibunya.
            “ Bunda, Lintar ingin seperti paman. Jadi Raja…” ucapnya manja.
            Wanita itu berpaling ke arah wanita tua itu juga ke arah Sabda Dewa. Rona bersalah terlukis jelas di wajahnya.
“  Maaf…”
“ Tidak apa-apa Pandan Wangi. Ia masih kecil belum tahu apa-apa… “ ucap wanita yang lebih tua sambil tersenyum bijaksana.
“ Iya kak jangan jadi bahan pikiran…” Sabda Dewa menimpali.
Pandan Wangi mendesah, bagaimana pun Lintar tidak punya hak sedikit pun untuk memegang kekuasaan tertinggi di kerajaan ini. Yang berhak menjadi pewaris tahta kelak tentu saja adalah anak dari Sabda Dewa. Pertanyaan yang diajukan sang ratu seolah mewakili perasaannya.
“ Kapan ananda menikah, kerajaan ini perlu seorang penerus kelak. Usia ananda kan sudah 27 tahun, usia yang cukup untuk menikah.”
“ Ananda belum berpikiran ke situ ibunda.”
“ Pernikahan ananda bukan cuma masalah ananda, tapi juga tentang bagaimana nasib negeri ini ke depannya. Oh iya, tadi Panglima Balung menghadap. Ada sesuatu yang penting sepertinya?”
“ Cuma masalah perbatasan Ibunda Ratu. Tapi nanti malam akan dibicarakan dengan para tetua dan beberapa panglima.”
“ Baiklah mudah-mudahan tidak ada masalah besar. Perasaan ibunda tidak enak…”

* * *

Malamnya.
Raja Sabda Dewa duduk di singasananya. Di depannya duduk saling berhadapan 12  menteri, lima - Bijaksawan- utusan dari kuil Dewa Mahabijak, beberapa tetua, dan beberapa pemimpin perang termasuk panglima Balung.
“ Apa yang ingin kau sampaikan panglima?” ucap Sabda Dewa mengawali pembicaraan.
“ Dari laporan para penjaga perbatasan. Para prajurit kerajaan Cadarian telah bersiap untuk bergerak ke arah kotaraja. Lebih dari tiga ratus ribu prajurit sedang bergerak ke arah kita.”
“ Bukan masalah besar sepertinya pasukan kita dua atau tiga kali lipat dari jumlah mereka.”
“ Memang betul paduka. Namun ada satu hal yang membuat hamba segera melaporkan hal ini pada paduka. Pasukan cadarian ternyata diperkuat juga oleh makhluk-makhluk mengerikan. Pasukan likan, pasukan drakula dan para Denawa.”
Sabda Dewa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Begitupun para pejabat lainnya, pernyataan yang disampaikan panglima Balung membuat mereka terperangah..
“ Bagaimana bisa?”
“ Sejauh ini hamba juga belum tahu paduka. Bagaimana makhluk-makhluk tanah Monstara dapat bergabung dengan kerajaan Cadarian..”
“ Ada usul dari para tetua?” Pandangan Sabda Dewa beredar kebeberapa orang tua berjubah putih dan berjenggot panjang.
“ Pertempuran sepertinya tidak dapat dielakan. Bukan masalah menang atau kalah sebenarnya ketika perang tak bisa dihindari. Tapi masalah utama adalah kita harus mampu menekan korban jiwa-jiwa tak berdosa. Penduduk negeri ini, terutama anak-anak dan para wanita.” Lelaki tua di kanan sang raja berujar setelah sebelumnya menjura hormat.
“ Baiklah hal pertama yang kita perlu pikirkan adalah nasib anak-anak dan para wanita. Ada yang ingin urun pendapat?” Raja Sabda Dewa mengajukan tanya, tatapannya beredar ke seluruh bawahannya.” Silahkan Paman Ewangga, apa yang ingin paman sampaikan.”
“ Kalau boleh hamba urun pendapat. Hutan di sisi selatan bisa menjadi tempat yang cocok untuk menjadi tempat pengungsian. Kita kerahkan satu pasukan untuk membuka hutan dan kita tempatkan satu pasukan prajurit untuk memandu penduduk.”
Sesaat sang raja terdiam merenung. Angannya larut dalam bayangan yang terbentuk di benaknya. Sesaat kemudian.
“ Panglima Balung apakah ada masalah dengan pendapat paman Ewangga?”
“ Usul yang bagus sepertinya paduka. Jika paduka setuju akan segera hamba laksanakan.”
“ Bagaimana dengan makanan mereka, tempat tinggal mereka....”
“ Hamba yang akan tangani, paduka...” ucap Raga Anom sang menteri pangan. “ sepertinya bisa hamba atasi.” sang raja tersenyum. Menteri yang usianya hanya lebih tua beberapa tahun darinya itu memang tipe orang yang ulet.
“ Baiklah aku percayakan urusan ini padamu Raga Anom dan untuk pengungsian para penduduk kita aku percayakan pada Paman Ewangga. Bukan aku tidak percaya dengan kemampuan Panglima Balung namun Panglima Balung tentu saja di butuhkan tenaganya untuk memimpin pasukan kita. Satu hal lagi segera umumkan keadaan kerajaan kita dalam keadaan darurat sipil. Para pemuda diwajibkan untuk bela negara, wajib mengangkat senjata untuk membela negara kita. “
“ Baik paduka akan hamba umumkan secepatnya,” ucap menteri bewara. Seorang lelaki bertubuh kurus di sisi kiri berujar. Sabda Dewa mengangguk pelan.
“Kembali ke masalah utama. Apa kita bisa menahan serangan dari kerajaan Cadarian. Apalagi pasukan mereka diperkuat makhluk-makluk luar biasa seperti itu?” sang raja kembali berkata.
“ Kalau hanya mengandalkan jumlah pasukan sepertinya kita akan kalah telak paduka. Hamba bukan bersikap pesimistis namun mencoba untuk melihat kenyataan. Seorang Denawa saja dapat dengan mudah membantai puluhan prajurit kita. Belum lagi dengan manusia serigala dan para drakula. Kita kalah telak.” Ucap senopati Angin Laksa, pemimpin pasukan utara.
Panglima Balung melirik sekilas ke arah Angin Laksa.
“ Walau bagaimana pun kita harus tetap berjuang untuk kerajaan kita. Tanah yang telah membesarkan kita. Yang memberikan kita kehidupan.”
“ Dengan mati sia-sia? Apakah sepadan?”
“ Cukup! Apa yang dikatakan oleh panglima Balung adalah hal yang tidak bisa kita sanggah kebenarannya, namun perkataan dari Angin Laksa pun tentu saja tidak bisa kita abaikan begitu saja. Sekarang yang jadi masalah adalah bagaimana caranya agar kita dapat mempertahankan kerajaan kita ini dan tetap bisa berdiri tegak setelah pertempuran usai.”
“ Bagaimana kalau kita tanyakan hal ini pada Ki Sendang Seda kemungkinan besar ia punya jalan keluar,” ucap Raga Anom. Raja Sabda Dewa menatap orang yang dimaksud Raga Anom. 
Lelaki tua yang diminta pendapatnya mengusap janggutnya sebelum berucap,” Ada beberapa penemuan hamba yang mungkin bisa berguna dalam pertempuran nanti. Ada alat pelontar batu raksasa. Ada busur yang dapat memuntahkan puluhan anak panah dalam sekali tembak dan beberapa yang lainnya”
Raja sabda Dewa tersenyum ada secercah harapan sepertinya.

Rabu, 23 Mei 2012

PROLOG


Awalnya hanya kehampaan, tiga Dewa ; Dewa Mahabijak, Dewa Angkara dan Dewi Aura sepakat membuat sebuah dunia. Dewa Mahabijak akhirnya membuat sebuah daratan raksasa yang diberi nama ARCAPADA serta manusia dan makhluk-makhluk fantasi di dalamnya.Dewi Aura menabur ke tiap makhluk rasa bahagia, cinta dan  energi positif lainnya. Dewa Angkara sang Dewa Perang merasa tersisihkan ia akhirnya membuat sebuah daratan tersendiri yang penuh dengan makhluk – makhluk penuh dengki. Bahkan ia pun berhasil menyusupkan beberapa makhluk ciptaannya ke daratan Arcapada.
          Beratus-ratus tahun kemudian sebuah awal bencana hadir.
           Jagat Agung, anak manusia yang terkenal paling tampan di sentero daratan Arcapada berhasil menyatukan semua penghuni daratan Arcapada dalam kekuasaannya, telah membuat Aura sang Dewi Cinta tergila-gila padanya. Namun Jagat Agung telah lebih dulu terjerat hatinya oleh wanita dari kalangan manusia ,Dewi Pratiwi. Jagat Agung sang raja besar penguasa Arcapada akhirnya menikah dengan Dewi Pratiwi. Dan ini menimbulkan kemarahan sang Dewi Cinta,Aura. Ia pun melepaskan kutukan bahwa keturunan dari pasangan ini nantinya bukanlah manusia biasa.
          Singkat cerita kutukan itu ternyata benar, sepasang anak kembar pertama putra-putri berkulit putih rambut putih dan telinga runcing ke atas. Jagat Agung yang tidak menginginkan mereka akhirnya membuang mereka ke sebelah selatan Hutan Kabut sunyi. Kelak akan lahir dari mereka Ras Kayangan. Ras yang abadi,kecuali jika mereka menikah dengan manusia biasa.
          Begitupun dengan kelahiran kedua – anak kedua mereka ternyata sepasang manusia kera. Sepasang anak kembar putra-putri ini dibuang ke pulau disebelah barat Arcapada, pulau Primatan. Dari keturunan ini lahirlah kelak ras Wanara.
          Kelahiran ketiga, sepasang putra-putri bertubuh seperti manusia biasa namun di belakang leher mereka terdapat celah-celah insang. Menganggap anaknya aneh Jagat Agung Membuang anak-anak ini ke sebuah benua di sebelah timur arcapada. Kelak mereka akan melahirkan ras Baruna. Ras yang tidak bisa jauh dari air.
          Akhirnya untuk menghindari kutukan itu Jagat Agung menikah kembali dengan wanita lain, Serat Hati. Dari pasangan ini akhirnya diturunkan raja-raja besar yang kelak memegang tahta kerajaan Cakra Buana di Arcapada.
          Dan akhirnya sampailah pada generasi raja ke enam yang di pegang oleh Raja Sabda Dewa.