Anak
muda bertubuh tegap itu memacu kudanya. Kedua kakinya mengepit perut kuda
tunggangannya. Tubuhnya tegak dengan dua tangan terpentang merentang busur. Sebuah
anak panah terpasang di ujungnya. Seekor rusa jantan besar berlari kencang
melompati sebatang pohon tumbang. Anak muda itu melepaskan anak panahnya.
“ Blass…”
Suara mendesing nyaring terdengar saat
anak panah itu meluncur deras.
Beberapa saat kemudian tubuh rusa
itu ambruk ke tanah.
Dari belakang terdengar ringkik
kuda, tiga orang mendekat. Dua orang dengan sigap turun dari kuda dan menaikan
tubuh rusa itu ke atas salah satu kuda mereka.
“Hasil yang tidak terlalu jelek bukan?”
ucap lelaki yang tadi membidik.
“ Iya paduka,” jawab orang yang ada
di sebelahnya dengan sikap hormat dari atas kuda tunggangannya
“ Kita pulang, nanti malam kita bisa
makan besar. Tiga ekor rusa ini rasanya cukup untuk seluruh penghuni istana.” Ucap
anak muda itu sambil melirik hasil buruannya hari ini. Anak muda itu menarik
tali kekang kudanya, berbalik arah dan menggebrak kudanya. Tiga orang yang
menyertainya melakukan hal yang sama, mengikuti dari belakang.
Tak memakan waktu perjalanan yang
lama mereka berempat telah memasuki gerbang istana. Seorang prajurit dengan sigap
memegang tali kekang sang raja. Dengan sikap hormat ia berkata:
“ Maaf paduka, panglima kerajaan
menunggu paduka di dalam.”
“ Ada apa?” Sabda Dewa sang raja
melompat dari punggung tunggangannya.
“ Sepertinya hal penting paduka. “
Prajurit itu menghormat
dan menuntun kuda hitam itu ke istal.
“ Ada apa panglima Balung?” ucap
sang raja saat ia telah duduk di singgasananya. Seorang pelayan meletakkan
sejumlah minuman dan buah-buahan di meja kecil di sampingnya. Sang raja
mengambil sebutir anggur dan memasukkan ke mulutnya.
“ Ini tentang keamanan kerajaan kita
paduka. Penjaga perbatasan kerajaan kita dengan Gurun Pasir Berdesir melihat
ada sesuatu yang janggal di sana. Sepertinya Kerajaan Cadarian sedang membangun
kekuatan untuk menyerang kita.”
“ Kerajaan Cadarian? Kita tidak
boleh menganggap ringan masalah ini. Nanti malam kita adakan pembicaraan,
undang semua sesepuh serta para penasihat perang.”
“ Baik paduka. Akan segera hamba
laksanakan. Hamba pamit paduka…” panglima Balung merundukkan tubuh dan berbalik
keluar dari balairung.
“ Paman… paman…” suara anak kecil
bernada riang tiba-tiba muncul dari ruangan lain. Panglima Balung tersenyum dan
memberi hormat pada dua wanita yang mengikuti di belakang anak kecil itu.
“ Panglima Balung..” wanita yang
lebih tua menyapa.
“ Iya ibu suri, urusan hamba dengan
paduka telah selesai.”
“ Masalah penting sepertinya. Tidak
seperti biasanya kau tidak meluangkan waktu untuk bercengkrama dulu dengan
kami.”
“ Maaf ibu suri banyak hal yang
mesti hamba tangani. Hamba mohon diri. “
“ Baiklah kalau begitu. Titip salam
buat istrimu juga buat anakmu. Sudah lama aku tidak melihat mereka terutama
Taksaka. Ia pasti sudah besar sekarang.”
“ Suatu kehormatan buat keluarga
kami. Tentu saja salam dari ibu suri akan hamba sampaikan . Hamba mohon diri.”
“ Paman...paman...” ucapan anak
kecil itu memalingkan wajah ibu suri dari tatapannya ke arah kepergian panglima
Balung.
“ Oh keponakanku yang lucu.”
Sabda Dewa turun dari tahtanya kedua tangannya terbuka ke
arah seorang bocah kecil. Sesaat kemudian tubuh bocah itu sudah terayun-ayun di
udara. Tawa gembira bercampur ngeri keluar dari mulut bocah lima tahunan itu.
Dua perempuan itu mendekat, keduanya tersenyum kecil.
“ Lintar, sudah dulu main-mainnya,
kasihan pamanmu beliau kan baru pulang dari berburu. Beliau mungkin masih
kecapaian.” Ucap wanita setengah baya.
“ Tidak apa-apa kak. Kehadiran Lintar
justru membuat lelahku hilang.” Sabda Dewa menurunkan tubuh keponakannya. Yang
langsung berlari ke arah ibunya.
“ Bunda, Lintar ingin seperti paman.
Jadi Raja…” ucapnya manja.
Wanita itu berpaling ke arah wanita
tua itu juga ke arah Sabda Dewa. Rona bersalah terlukis jelas di wajahnya.
“ Maaf…”
“ Tidak apa-apa Pandan Wangi. Ia masih kecil belum tahu apa-apa…
“ ucap wanita yang lebih tua sambil tersenyum bijaksana.
“ Iya kak jangan jadi bahan pikiran…” Sabda Dewa menimpali.
Pandan Wangi mendesah, bagaimana pun Lintar tidak punya hak
sedikit pun untuk memegang kekuasaan tertinggi di kerajaan ini. Yang berhak menjadi
pewaris tahta kelak tentu saja adalah anak dari Sabda Dewa. Pertanyaan yang
diajukan sang ratu seolah mewakili perasaannya.
“ Kapan ananda menikah, kerajaan ini perlu seorang penerus
kelak. Usia ananda kan sudah 27 tahun, usia yang cukup untuk menikah.”
“ Ananda belum berpikiran ke situ ibunda.”
“ Pernikahan ananda bukan cuma masalah ananda, tapi juga
tentang bagaimana nasib negeri ini ke depannya. Oh iya, tadi Panglima Balung menghadap. Ada
sesuatu yang penting sepertinya?”
“ Cuma masalah perbatasan Ibunda Ratu. Tapi nanti malam akan
dibicarakan dengan para tetua dan beberapa panglima.”
“ Baiklah mudah-mudahan tidak ada masalah besar. Perasaan
ibunda tidak enak…”
*
* *
Malamnya.
Raja Sabda Dewa duduk di singasananya. Di depannya duduk
saling berhadapan 12 menteri, lima -
Bijaksawan- utusan dari kuil Dewa Mahabijak, beberapa tetua, dan beberapa pemimpin
perang termasuk panglima Balung.
“ Apa yang ingin kau sampaikan panglima?” ucap Sabda Dewa
mengawali pembicaraan.
“ Dari laporan para penjaga perbatasan. Para prajurit
kerajaan Cadarian telah bersiap untuk bergerak ke arah kotaraja. Lebih dari
tiga ratus ribu prajurit sedang bergerak ke arah kita.”
“ Bukan masalah besar sepertinya pasukan kita dua atau tiga
kali lipat dari jumlah mereka.”
“ Memang betul paduka. Namun ada satu hal yang membuat hamba
segera melaporkan hal ini pada paduka. Pasukan cadarian ternyata diperkuat juga
oleh makhluk-makhluk mengerikan. Pasukan likan, pasukan drakula dan para
Denawa.”
Sabda Dewa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Begitupun
para pejabat lainnya, pernyataan yang disampaikan panglima Balung membuat
mereka terperangah..
“ Bagaimana bisa?”
“ Sejauh ini hamba juga belum tahu paduka. Bagaimana makhluk-makhluk
tanah Monstara dapat bergabung dengan kerajaan Cadarian..”
“ Ada usul dari para tetua?” Pandangan Sabda Dewa beredar kebeberapa
orang tua berjubah putih dan berjenggot panjang.
“ Pertempuran sepertinya tidak dapat dielakan. Bukan masalah
menang atau kalah sebenarnya ketika perang tak bisa dihindari. Tapi masalah
utama adalah kita harus mampu menekan korban jiwa-jiwa tak berdosa. Penduduk
negeri ini, terutama anak-anak dan para wanita.” Lelaki tua di kanan sang raja
berujar setelah sebelumnya menjura hormat.
“ Baiklah hal pertama yang kita perlu pikirkan adalah nasib anak-anak
dan para wanita. Ada yang ingin urun pendapat?” Raja Sabda Dewa mengajukan
tanya, tatapannya beredar ke seluruh bawahannya.” Silahkan Paman Ewangga, apa
yang ingin paman sampaikan.”
“ Kalau boleh hamba urun pendapat. Hutan di sisi selatan
bisa menjadi tempat yang cocok untuk menjadi tempat pengungsian. Kita kerahkan
satu pasukan untuk membuka hutan dan kita tempatkan satu pasukan prajurit untuk
memandu penduduk.”
Sesaat sang raja terdiam merenung. Angannya larut dalam
bayangan yang terbentuk di benaknya. Sesaat kemudian.
“ Panglima Balung apakah ada masalah dengan pendapat paman
Ewangga?”
“ Usul yang bagus sepertinya paduka. Jika paduka setuju akan
segera hamba laksanakan.”
“ Bagaimana dengan makanan mereka, tempat tinggal mereka....”
“ Hamba yang akan tangani, paduka...” ucap Raga Anom sang
menteri pangan. “ sepertinya bisa hamba atasi.” sang raja tersenyum. Menteri
yang usianya hanya lebih tua beberapa tahun darinya itu memang tipe orang yang
ulet.
“ Baiklah aku percayakan urusan ini padamu Raga Anom dan
untuk pengungsian para penduduk kita aku percayakan pada Paman Ewangga. Bukan
aku tidak percaya dengan kemampuan Panglima Balung namun Panglima Balung tentu
saja di butuhkan tenaganya untuk memimpin pasukan kita. Satu hal lagi segera
umumkan keadaan kerajaan kita dalam keadaan darurat sipil. Para pemuda
diwajibkan untuk bela negara, wajib mengangkat senjata untuk membela negara
kita. “
“ Baik paduka akan hamba umumkan secepatnya,” ucap menteri
bewara. Seorang lelaki bertubuh kurus di sisi kiri berujar. Sabda Dewa
mengangguk pelan.
“Kembali ke masalah utama. Apa kita bisa menahan serangan
dari kerajaan Cadarian. Apalagi pasukan mereka diperkuat makhluk-makluk luar
biasa seperti itu?” sang raja kembali berkata.
“ Kalau hanya mengandalkan jumlah pasukan sepertinya kita
akan kalah telak paduka. Hamba bukan bersikap pesimistis namun mencoba untuk
melihat kenyataan. Seorang Denawa saja dapat dengan mudah membantai puluhan
prajurit kita. Belum lagi dengan manusia serigala dan para drakula. Kita kalah
telak.” Ucap senopati Angin Laksa, pemimpin pasukan utara.
Panglima Balung melirik sekilas ke arah Angin Laksa.
“ Walau bagaimana pun kita harus tetap berjuang untuk kerajaan
kita. Tanah yang telah membesarkan kita. Yang memberikan kita kehidupan.”
“ Dengan mati sia-sia? Apakah sepadan?”
“ Cukup! Apa yang dikatakan oleh panglima Balung adalah hal yang
tidak bisa kita sanggah kebenarannya, namun perkataan dari Angin Laksa pun tentu
saja tidak bisa kita abaikan begitu saja. Sekarang yang jadi masalah adalah
bagaimana caranya agar kita dapat mempertahankan kerajaan kita ini dan tetap
bisa berdiri tegak setelah pertempuran usai.”
“ Bagaimana kalau kita tanyakan hal ini pada Ki Sendang Seda
kemungkinan besar ia punya jalan keluar,” ucap Raga Anom. Raja Sabda Dewa
menatap orang yang dimaksud Raga Anom.
Lelaki tua yang diminta pendapatnya mengusap janggutnya
sebelum berucap,” Ada beberapa penemuan hamba yang mungkin bisa berguna dalam
pertempuran nanti. Ada alat pelontar batu raksasa. Ada busur yang dapat
memuntahkan puluhan anak panah dalam sekali tembak dan beberapa yang lainnya”
Raja sabda Dewa tersenyum ada secercah harapan sepertinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar